Sawahlunto dalam Sejarah

Sawahlunto berasal dari dua suku kata, yaitu "Sawah" dan "Lunto". Sawah yang dimaksud terletak di sebuah lembah yang dialiri sebuah anak sungai bernama Batang Lunto, yang sekaligus juga berfungsi untuk mengairi areal persawahan itu. Nama Sawahlunto sudah dikenal sejak daerah itu ditaruko nenek moyang masyarakat Nagari Kubang pada zaman dulu.
Tempat tersebut hanya dijadikan persawahan. Tempat tinggal (rumah) yang ada masih berupa dangau sehingga mereka belum menetap secara permanen di sana.

Pada tahun 1867, De Greve dan Kalshoven (geolog Belanda) yang menyelidiki adanya "emas hitam" atau batu bara di Sawahlunto juga menyebutkan bahwa daerah itu (Sawahlunto) belum didiami oleh manusia. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Verbeek(geolog Belanda) pada tahun 1875 ketika meneliti deposit batu bara di daerah itu yang berjumlah lebih dari 200 juta ton.

Pada tanggal 27 juli 1886 terjadi pembebasan lahan tambang batu bara di Sawahlunto, ketika daerah itu secara resmi diserahterimakan untuk dijadikan areal pertambangan batu bara. Serah terima itu didasarkan kepada atas Akte Notaris yang dikeluarkan oleh :
- E.L van Rouvery selaku Asisten Residen Tanah Datar
- Djaar Sutan Pamuncak sebagai kepala Laras Silungkang
- dan penerimanya adalah Hendrik Yakobus Shuuring yang memegang konsesi pertambangan batu bara dari pemerintah kolonial Belanda. Masalah pembebasan tanah ini mengikuti hukum adat minangkabau. Satu segi, pemerintah kolonial Belanda menghormati hak atas tanah ulayat. Segi lain, jumlah ganti rugi tidak sesuai dengan harga sesungguhnya membuat makna ganti rugi itu malah merugikan masyarakat adat. Ungkapan Balando minta tanah menjadi anekdot yang kuat dalam masyarakat.


Pada tahun 1887, diperkirakan Sawahlunto mulai menjadi daerah pemukiman, ketika Belanda menanamkan modal sebesar 5,5 juta gulden untuk merealisasikan konsensi tambang batu-bara di sana. Sehingga titik yang mendekati untuk mengetahui cikal bakal kota Sawahlunto lebih tepat jika dikaitkan dengan adanya penambangan batubara. Ini sangat logis karena batu-baralah yang telah merubah areal persawahan dan peladangan di lembah yang dialiri oleh Batang Lunto, menjadi pusat kota Sawahlunto sekarang.

Hal tersebut di atas yang membedakan terbentuknya Sawahlunto dengan kota-kota di daerah Dataran Tinggi Sumatera Barat lainnya. Jika kota lain seperti Bukittinggi, Padangpanjang, Batusangkar, Payakumbuh, Solok, dan Lubuk Sikaping muncul lebih disebabkan karena adanya penjajahan Belanda. Artinya, pemerintah Hindia Belanda membangun kota-kota tersebut bercorak sebagai kota kolonial yang diperkirakan muncul pada paruh pertama abad ke-19. Setelah Belanda berhasil menguasai daerah dataran tinggi itu dengan memenangkan Perang Paderi (1819-1837) dan mengalahkan Tuanku Imam Bonjol serta Kaum Paderi. Untuk mengekploitasi daerah yang telah dikuasai, dibangunlah infrastruktural yang diperlukan di daerah itu, sehingga kemudian menjadi kota-kota seperti yang telah disebutkan di atas.
Meskipun Sawahlunto tumbuh dan berkembang sebagai kota tambang satu-satunya di Sumatera Barat, tetapi pemerintah kolonial memperlakukan sama seperti kota-kota jajahan lain yaitu sebagai kota kolonial. Kota Sawahlunto lebih berfungsi sebagai pusat eksploitasi komoditi daerah sekitarnya dan sebaliknya juga dijadikan sebagai tempat pemasaran hasil industri Negeri Belanda atau negara Eropa lainnya. Sehingga wajah kota itu lebih bersifat parasitif, bukan generatif. Apapun yang dibangun oleh Belanda pada prinsipnya untuk kepentingan kolonialnya, bukan untuk menyejahterakan warga ataupun masyarakat asli sekitarnya.

Pada tanggal 1 Desember 1888, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan keputusan tentang batas-batas ibukota Afdeeling.
Afdeeling adalah Pemerintahan setingkat dengan kabupaten pada masa kolonial Belanda.
Oleh karena itu, pada tanggal 1 Desember 1888 dapat dikatakan bahwa Sawahlunto mulai diakui keberadaannya dalam administrasi pemerintahan oleh pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah Afdeeling Tanah Datar (kini setiap tanggal 1 Desember dijadikan sebagai hari Ulang Tahun Kota Sawahlunto). Hal ini seiring dengan persiapan pembangunan prasarana transportasi kereta api sejak tahun 1887 dan pelabuhan Emma Haven (sekarang Teluk Bayur) sebagai penunjang proses pengeksporan produksi batu bara dari Sawahlunto.

Pada tahun 1892
, nama Sawahlunto baru tercantum dalam Regeering Almanak van Nederlandsch-Indie. Itu menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, Sawahlunto secara resmi masuk dalam peta geo-politik pemerintah Hindia Belanda. Atau dengan kata lain pada tahun itulah adanya pengakuan tentang keberadaannya secara resmi. Menurut Sumber informasi lain yang diperoleh menyebutkan bahwa pada tahun 1891 dimulai usaha pertambangan dan produksi perdana mulai pada tahun 1892.
Batu bara itu dibawa ke pelabuhan Emma Haven ( sekarang Pelabuhan Teluk Bayur) di Padang. Jaringan kereta api dari Sawahlunto - Muara Kalaban baru selesai dibangun pada tahun 1894. Maka rentang waktu antara 1892 - 1894 batu bara dibawa dsengan kuda beban dan pedati dari Sawahlunto ke Muaro Kalaban yang berjarak 5 km.

Dari tahun ke tahun Sawahlunto terus menunjukkan perkembangan pesat. Pada tanggal 24 Juli 1905 batas-batas administrasi Sawahlunto ditetapkan untuk pertama kali, sebagaimana dimuat Staatblad(Lembaran tertulis) No.396. Sungguhpun demikian pertumbuhan dan perkembangannya relatif pesat dan batas-batas wilayahnya sudah ditetapkan, namun status sebagai sebuah "Kota" barulah ditunjukkan dengan mengangkat seorang Burgelijken Stand ("walikota") pada tahun 1911. Pada tahun 1914 Sawahlunto dijadikan pula sebagai ibukota Afdeeling Tanah Datar yang semula berada di Batusangkar.

Melihat beban administarasi yang semakin padat itu, baik sebagai ibukota Kelarasan Sawahlunto, Onderafdeeling Sawahlunto, dan Afdeeling Tanah Datar, maupun sebagai kota tambang batubara, maka pada tahun 1918 Sawahlunto ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja). Dengan demikian diharapkan Sawahlunto dapat mengurus segala persoalannya secara efektif dan efisien. Untuk itu walikotanya dibantu oleh sebuah Dewan Kota (Gemeenteraad) yang terdiri dari: 5 Eropa, 3 Pribumi dan 1 Cina. Sebagai "walikota" dijabat langsung oleh Kepala Afdeeling Tanah Datar.

Pada tahun 1929 wilayah Kota Sawahlunto diperluas menjadi 577,7 ha sebagaimana termaktub dalam Staatsblad no.400 tahun 1929.

Akan tetapi pada masa pemerintahan Jepang menjadikan kota Sawahlunto sebagai ibukota kabupaten Solok. Oleh karena itu Bung Tsu Tjo-nya ( Bupati ) berkedudukan di kota Sawahlunto.

Setelah kemerdekaan Sawahlunto ditetapkan sebagai sebuah kota. Daerah itu dibagi atas 2 kecamatan yaitu Kecamatan Sawahlunto Utara dan Kecamantan Sawahlunto Selatan. Kecamatan Sawahlunto Utara dibagi atas 2 nagari, sedangkan kecamatan Sawahlunto Selatan terdiri dari 3 nagari. Ketika diterapkan Undang-undang No.5 tahun 1979, Sawahlunto dibagi atas 20 kelurahan dan pemerintahan nagari dihapuskan. 8 Kelurahan terdapat di Kecamatan Sawahlunto Utara dan 12 kelurahan di Kecamatan Sawahlunto Selatan.

Pembagian wilayah Kota Sawahlunto itu berubah lagi ketika dilakukan pemekarannya pada tahun 1990. Kota Sawahlunto yang luasnya 273.477 km2 itu dibagi atas 4 kecamatan, 27 Desa dan 10 Kelurahan. Pembagian wilayah pemerintahan terendah yang terdiri dari desa tetap dipertahankan disebabkan karena pemekaran kota Sawahlunto juga mengambill beberapa wilayah kabupaten Solok dan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Pembagian wilayah itu juga menjadi "rumit" karena pada tahun 1998 juga diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah, sehingga nagari kembali dihidupkan di Sumatera Barat. Untuk itu wilayah desa-desa yang berasal dari 2 kabupaten itu dikembalikan menjadi nagari, sehingga menjadi 10 Nagari. Jadi sekarang pemerintahan Sawahlunto terdiri dari :
- 4 Kecamatan
- 10 Nagari
- 10 Kelurahan
- dan 27 Desa

Catatan :
Walikota Sawahlunto dari Tahun 1963-2010
1. Ahmad Nurdin, SH (1965 - 1971)
2. Drs. Shamoery WS ( 1971 - 1983 )
3. Drs. Nuraflis Salam ( 1983 - 1988 )
4. Drs. Rahmatssyah ( 1988 - 1993 )
5. Drs. Subari Sukardi ( 1993 - 2003 )
6. Ir. H. Amran Nur ( 2003 - sekarang )

Sumber : Buku Sawahlunto Dulu,kini dan Esok
Pusat Studi Humaniora (PSH) Universitas Andalas

0 Response to "

Sawahlunto dalam Sejarah

"

Post a Comment

MAAF KOMENTAR SPAM KAMI HAPUS